bagaimana siswa belajar?  

Posted by Muhammad Ihsan Fauzi

*Uraian berikut ini adalah untuk menjawab pertanyaan, bagaimana siswa
belajar? Dengan memahami uraian ini, guru (kita) bisa menyesuaikan
pelaksanaan pembelajaran dengan kondisi siswa. Bukankah pemberian harus
diselaraskan dengan mereka yang akan menerima pemberian sehingga dapat
bermanfaat secara optimal, dan tidak sebaliknya.
Model-model belajar yang dimaksud pada judul di atas adalah berbagai
cara-gaya belajar siswa dalam aktivitas pembelajaran, baik di kelas ataupun
dalam kehidupannya sehari-hari antar sesama temannya atau orang yang lebih
tua. Dengan memahami model-model belajar ini, diharapkan para guru (kita
semua) dapat membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran
dapat dicapai secara efektif.
Ada berbagai model belajar yang akan dibahas, yaitu:*

*
1. Peta Pikiran*

Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi
melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk
hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial
terpisah satu sama lain dan tidak pula dalam bentuk narasi kalimat lengkap.
Sebagai contoh, kalau dalam pikiran kita ada kata (konsep) Bajuri, maka akan
terkait dengan kata lain secara fungsional, seperti gemuk, supir bajay,
kocak, sederhana, atau ke tokoh lain Oneng, Ema, Ucup, Hindun, dan lain-lain
dengan masing-masing karakternya. Demikian pula kata dalam pikiran kita
terlintas FKIP Universitas Langlangbuana Bandung akan terkait alamatnya,
pejabatnya, dosen-dosen dan staf administrasi, dan besar penghargaan untuk
perkuliahan per-sks. Silakan anda mencoba menuliskan / menggambarkan peta
pikiran tentang Bajuri dan FKIP Unla di atas. Kalau dibuat narasinya akan
ada perbedaan redaksi, meskipun dengan makna yang tidak berbeda.
Dalam bidang studi keahlian anda, misalnya ambil satu materi dalam pelajaran
Matematika, Akuntansi, Agama, atau yang lainnya. Silakan buat (tulis-gambar)
peta pikiran yang terlintas kemudian narasikan secara lisan. Tulisan atau
gambar peta pikiran tersebut dinamakan dengan peta konsep (concept map).
Selanjutnya Buzan mengemukakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural)
adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti di atas berupa pikiran. Yang
produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan
cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap
konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang
terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya
bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat
dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya. Belajar
dengan menghafalkan kalimat lengkap tidak akan efektif, di samping bahasa
yang digunakan menggunakan gaya bahasa penulis. Mengingat hal itu, sajian
guru dalam pembelajaran harus pula dikondisikan berupa sajian peta konsep,
guru membumbuinya dengan narasi yang kreatif.
Selanjutnya, Buzan mengemukakan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses
informasi berupa bahasa sebanyak 600 – 800 kata permenit. Dengan kemampuan
otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi. Jika
benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat
dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal. Hanya sayang banyak
orang yang mengabaikannya atau digunakan untuk hal-hal yang kurang
bermanfaat untuk peningkatan kualitas diri, misalnya berangan-angan,
menonton, mengobrol atau bercanda tanpa makna. Bagaimana dengan anda?.

*2. Kecerdasan Ganda*

Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen
kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan
kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual
mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah
dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan
mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran
akan tetapi jika diisi dengan aktivitasa negatif, misal kenakalan atau
lamunan, inlah yang disebut dengan sia-sia atau mubadzir (at tubadziru
minasy-syaithon) .
Sebaliknya jika tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan .
Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan
suasana kondusif, misalnya keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana
nyaman dan menyenangkan, atau meditasi keheningan dengan prinsip kepasrahan
kepada sang Pencipta. Dengan demikian aktivitas otak kiri semestinya
dibarengi dengan aktivitas otak kanan.
Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya
logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide,
abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf otak kanan berkaitan dengan
kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran
diri, spasial, musik, dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa
kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20%
sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40%, siswanya sebanyak 40%
dipengaruhi oleh hal lainnya.
Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) mengukakan kecerdasan
ketiga, yaitu Kecerdasan Spiritual (nurani-keyakinan) atau kecerdasan fitrah
yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama. Sebagai orang
beragama, kita semestinya berkeyakinan tinggi terhadap kecerdasan ini,
bukankah ada ikhtiar dan ada pula taqdir, ada do’a sebagai permintaan dan
harapan, dan ibadah lainnya. Bukankan ketentraman individu karena keyakinan
beragama ini.
Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti
dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal,
Interpersonal- communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic,
Intrapersonal- reflective, Logic-thinking- reasoning.

*3.Metakognitif*

Secara harfiah, metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai
kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana
proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa
yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran
terdahulu. Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa
metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi
lain yang dihadapi.
Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari
variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan,
pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir. Holler, dkk. (2002) mengemukakan
bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring,
dan regulasi.
Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7, yaitu: refleksi
kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi.
Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu:
kesadaran, monitoring, dan regulasi.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat
unsure analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya
kemampuan inkuiri dan kreativitas. Oleh karena itu pelaksanaan pembelajaran
semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak
hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

*4. Komunikasi*

Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi antar siswa, siswa
dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap
individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan
membentuk kepribadiannya, ada individu yang memiliki pribadi positif dan ada
pula yang berkpribadian negatif.
Perhatikan hasil penelitian Jack Canfield (1992), untuk kita simak dan
renungkan, bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa
menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih
tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada
awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin
mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominant
dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan
rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu,
ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu
bwersekolah, belajar menjadi beban dan rasa ercaya dirinya berkurang. Makin
lama ia makin dewasa, pribadinya berpola negative, seperti pesimis, m\udah
menyerah, dikendalikan keadaan , prasangka, pembenaran, menimpakan
kesalahan, dan sibuk dengan alasan. Berbeda dengan individu yang memiliki
pribadi positif, yaitu optimis, mengendalikan keadaan, ada kebebasan
memilih, punya alternative, partisipatidf, dan mau memperbaiki diri.
Sebagai guru, tentunya akan berhadapan dengan siswa yang berkepribadian
negative seperti di atas dan tentunya tidak untuk dibiarkan karena profesi
guru adalah amanat. Bagaimanakh menghadapi siswa dengan pola pribadi seperti
irtu? Caranya anatar lain dengan cara tidak memvonis, katakana “saya ….”
bukan katanya, jangan sungkan untuk apologi jika kesalahan, tumbuhkan citra
positif, bersikap mengajak dan bukan memerintah, dan jaga komunikasi non
verbal (eksprsi wajah, nada suara, gerak tubuh, dan sosok panutan). Mengapa
demikian? Karena cara berkomunikasi akan langsung berkenaan dengan akal dan
rasa, yang selanjutnya mempengaruhi poses pembelajaran.

*5. Kebermaknaan Belajar*

Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna.
Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi
harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar,
mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Dalam bahasa Sunda ada pepatah “pok-pek-prak” yang berarti bahwa belajar
mempunya indikator berkata-pok (bertanya-menjawab- diskusi,presenta si).
Mencoba-pek (menyelidiki, meng-identifikasi, menduga, menyimpulkan,
menemukan), dan melaksanakan- prak (mengaplikasikan, menggunakan,
memanfaatkan, mengembangkan) . Tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantoro
(1908) mengemukakan tiga prinsip pembelajaran ing ngarso sung tulodo (jadi
pemimpin-guru jadilah teladan bagi siswanya), ing madyo mangun karso (dalam
pembelajaran membangun ide siswa dengan aktivitas sehingga kompetensi siswa
terbentuk), tut wuri handayani (jadilah fasilitator kegiatan siswa dalam
mengembangkan life skill sehingga mereka menjadi pribadi mandiri). Dengan
perkataan lain, pembelajaran adalah solusi tepat untuk pelaksanaan kurikulum
2006, dan bukan dengan kegiatan mengajar.
Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan
bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya
dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10%, dari mendengar 20%, dari
melihat 30%, mendengar dan melihat 50%, mengatakan-komunika si mencapai 70 %,
da belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan besa mencapai 90%.
Drai uraian di atas implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan
pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukuop
dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on,
konstruksivis, dan daily life (kontekstual) .

*6. Konstruksivisme*

Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong
(encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis,
berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk
menyelesaikan persoalan yang disajikan. Sehingga jenis komunikasi yang
dilakukan antara guru-siswa tidak lagi bersifat transmisi sehingga
menimbulkan imposisi (pembebanan) , melainkan lebih bersifat negosiasi
sehingga tumbuh suasana fasilitasi.
Dalam kondisi tersebut suasana menjadi kondusif (tut wuri handayani)
sehingga dalam belajar siswa bisa mengkonstruksi pengetahuan dan opengalaman
yang diperolehnya dengan pemaknaan yang lebih baik. Siswa membangun sendiri
konsep atau struktur materi yang dipelajarinya, tidak melalui pemberitahuan
oleh guru. Siswa tidak lagi menerima paket-paket konsep atau aturan yang
telah dikemas oleh guru, melainkan siswa sendiri ang mengemasnya. Mungkin
saja kemasannya tidak akurat, siswa yang satu dengan siswa lainnya berbeda,
atau mungkin terjadi eksalahan, di sinilah tugas guru memberikan bantuan dan
arahan (scalfolding) sebagai fasilitator dan pembimbing. Keslahan siswa
merupakan bagian dari belajar, jadi harus dihargai karena hal itu cirinya ia
sedang belajar, ikut partisipasi dan tidak menghindar dari aktivitas
pembelajaran.
Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan
memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena
pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif
dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara
optimal, Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull
constructivism) , yaitu: konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan,
refeleksi-eksplanas i, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi, tindak
lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP).

*7. Prinsip Belajar Aktif*

Ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara aktif dan secara reaktif
(pasif). Belajar secara aktif indikatornya adalah belajar pada setiap
situasi, menggunakan kesempatan untuk meraih manfaat, berupaya terlaksana,
dan partisipatif dalam setiap kegiatan. Sedangakan belajar reaktif
indikatornya adalah tidak dapat melihat adanya kesempatan belajart,
mengabaikan kesempatan, membiarkan segalanya terjadi, menghindar dari
kegiatan.
Dari indikator belajar aktif, sesuai dengan pengertian kegiatan pembelajaran
di atas, maka prinsip belajar yang harus diterapkan adalah siswa harus
sebaga subjek, belajar dengan melakukan-mengkomun ikasikan sehingga
kecerdasan emosionalnya dapat berkembang, seperti kemampuan sosialisasi,
empati dan pengendalian diri. Hal ini bisa terlatih melalui kerja
individual-kelompok ,diskusi, presentasi, tanya-jawab, sehingga terpuku rasa
tanggung jawab dan disiplin diri.
Prinsip belajar yang dikemuakan leh Treffers (1991) adalah memiliki
indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan) , structuralistic (terstrutur,
sitematik, aksionmatik) , empiristic (pngelaman induktif-deduktif) , dan
realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan
terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan
intelektual- emosional, kontekstual- trealistik, konstruksivis- inkuiri,
melakukan-mengkomun ikasikan, dan inklusif life skill.

--
Hendry Risjawan
Trainers Club Indonesia
website: www.trainersclub. or.id
milis: trainersclub@ yahoogroups. com

coba  

Posted by Muhammad Ihsan Fauzi

cobalah...
karena dengan mencoba kita menjadi bisa

Belajar dengan visualisasi  

Posted by Muhammad Ihsan Fauzi

Visualisasi : teknik luar biasa untuk recall informasi
By: Abdul Aziez Category: NLP & Belajar

Pada waktu masih sekolah di SMP dan SMA dulu, entah karena cara belajar saya yang keliru atau memang metode pengajarannya yang kurang pas, seringkali saya dihadapkan pada situasi harus menghafalkan sekian banyak materi ajaran dalam waktu singkat, taruh kata semalam, karena keesokan harinya harus berhadapan dengan soal-soal yang harus dijawab dengan hafalan tersebut. Biasanya situasi seperti ini terjadi saat ujian, baik tes formatif , tes sub sumatif maupun tes sumatif (mungkin dalam sistem pendidikan nasional saat ini terminologi seperti itu sudah tidak digunakan lagi).
Seusia itu saya belum begitu tertarik mempelajari pola kerja otak, apalagi mendalapami NLP atau pendekatan mind power lainnya. Yang saya pahami hanyalah, saya harus hafal karena saya ingin nilai saya tidak buruk, kalaupun tidak bisa sangat baik. Kenapa? Motivasinya sederhana saja. Pertama sejak kecil saya terbiasa dipersepsi oleh lingkungan sekitar sebagai anak pandai. Mungkin karena ranking di kelas yang selalu sekitar 3 besar. Sehingga, kalau sampai nilai saya jelek, saya akan merasa malu dan mengecewakan lingkungan yang sudah telanjur mempersepsi saya sebagai anak pandai. Kedua, saya sendiri merasa bahwa saya punya kemampuan yang cukup baik, kalau tidak mau dibilang di atas rata-rata. Sehingga saya punya keyakinan dan optimisme, bahwa saya mampu menghafal atau apapun caranya, agar dapat menjawab soal-soal dengan benar.
Entah dari mana munculnya ide, yang biasa saya lakukan dalam waktu singkat adalah memindahkan materi ajaran yang cukup banyak tersebut ke atas selembar (atau beberapa lembar) kertas dengan kata-kata saya sendiri secara singkat, dengan membagi beberapa lokasi (koordinat) di atas kertas tersebut. Selembar kertas A4 saya bagi menjadi 8-12 kotak, dan masing- masing saya beri judul dan dibawahnya adalah beberapa frasa yang harus saya hafalkan. Setelah itu ringkasan di atas kertas saya baca berulang-ulang, bahkan sampai saya berangkat tidur hingga tertidur. Keesokan harinya ketika menjelang waktu ujian, saya masih terus membaca-baca ulang kertas-kertas coretan tangan saya tersebut, sampai tiba saat harus mengerjakan soal-soal.
Nah, pada saat mengisi jawaban yang membutuhkan hafalan tersebut yang saya lakukan adalah ”membaca” kembali kertas-kertas coretan tangan saya secara visualisasi. Artinya saya membayangkan seolah-olah sedang membacanya, meskipun kertas-kertas itu sedang tersimpan rapi di tempat yang tidak terjangkau. Ketika dihadapkan pada satu pertanyaan, akan terbayang letak jawabannya ada di kertas ke berapa pada kotak di lokasi (koordinat) mana. Lalu frasa-frasa apa yang ada di baris pertama, kedua, dan seterusnya. Dengan bermodalkan cara inilah, soal-soal yang membutuhkan banyak hafalan bisa terselesaikan.
Adakalanya pada saat ”membaca” secara visualisasi, ada bagian yang tampak kabur atau bahkan hilang! Baik itu kotak baris tertentu atau bahkan satu kotak tertentu. Dengan lebih berkonsentrasi (biasanya sambil mengarahkan bola mata ke atas) berangsur-angsur tulisan-tulisan itu bisa muncul lebih jelas. Sesegera mungkin pindahkan ke kertas jawaban sebelum ”gambar” itu kabur lagi.
Sepanjang yang saya alami saat itu, metode ini sifatnya instant, dalam arti cepat terekam namun apabila tidak diulang-ulang lagi (di-recharge) berangsur-angsur akan kabur bahkan pada saatnya akan hilang sama sekali. Hal ini bisa kita pahami karena untuk membuat suatu memory yang kuat dan mudah me-recall kembali, dibutuhkan kesan (impression) yang kuat dan terjadi pada kondisi emosional yang peak. Sehingga, metode visualisasi akan lebih bermanfaat jika dibarengi suatu kesan yang kuat yang masuk ke dalam otak kita melalui alat indera yang lain, apakah itu auditory, kinestetik, atau bahkan gustatory dan olfactory.
Dari beberapa paragraf cerita di atas, strategi yang bisa kita lakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi suatu situasi yang kita harapkan bisa kita persiapkan dengan optimal adalah:

1. Tujuan yang Memotivasi

Dalam cerita di atas, tujuannya adalah bisa menjawab soal-soal ujian, terutama yang membutuhkan hafalan, dengan benar. Kenapa? Karena ingin memperoleh nilai yang baik, agar tidak malu, agar tidak mengecewakan orang-orang yang terlanjur mempersepsi diri saya sebagai anak pandai. Saya sendiri berkeyakinan saya punya kemampuan sehingga saya optimis bisa menjawab soal dengan benar dan memperoleh nilai yang baik.
2. Jalan Masuk yang Paling Disukai
Masuknya informasi ke dalam otak bisa melalui semua alat indera. Pada cerita di atas preferensi atau jalan masuk yang disukai adalah melalui mata (visual). Meskipun pada saat membuat coretan dilakukan secara kinestetik, namun yang ”dinikmati” adalah hasil coretannya, yaitu dibaca berulang-ulang sehingga terjadi secara repetisi (pengulangan) pemasukan informasi visual ke dalam otak.
3. Memperkuat Kesan
Karena masuknya informasi melalui jalan yang disukai yaitu visual, maka pada saat informasi akan dihadirkan kembali (diaktifkan) maka keluarnya juga jalan visual. Di atas disebutkan bahwa sifat metode ini instant, karena tidak menetap terlalu lama. Atau lebih tepatnya, untuk menghadirkan atau mengaktifkan kembali informasi itu, pada saat-saat yang akan datang, tdaiklah semudah pada saat-saat awal dimana informasi itu baru saja masuk atau terekam. Maka, untuk mempermudah mengaktifkan kembali pada saat-saat mendatang, yang sudah jauh waktunya dari saat-saat masuknya informasi ke otak, dibutuhkan kesan yang lebih kuat, yaitu dengan melibatkan alat-alat indera yang lain.
Pada konteks cerita di atas, bisa dilakukan misalnya pada saat proses menghafal, atau membaca berulang-ulang, dibarengi dengan suara tertentu, suhu udara tertentu, bau-bauan tertentu atau sambil mengecap rasa tertentu. Misalnya, sambil menghafal, diiringi dengan suara musik suatu lagu (meskipun tidak dominan dengan suara keras). Secara kinestetik berada di tempat dengan suhu tertentu (misalnya menggunakan kipas angin, AC, atau berada di ruangan sempit, dsb), sambil duduk di kursi yang empuk atau keras. Bauan-bauan misalnya bau parfum yang dipakai sendiri, atau pengharum ruangan atau bahkan bau alat tulis yang dipakai. Rasa bisa dengan menghafal sambil menikmati kembang gula atau asinan.
4. Menghadirkan Informasi dengan Lima Indera
Bilamana pada saat kita menghadirkan atau mengaktifkan informasi itu semua situasi sangat mendekati atau semirip mungkin dengan situasi pada saat kita menghafal, yaitu sambil mendengar lagu yang sama, atau berada di tempat dengan suhu yang sama, duduk di kursi yang kurang lebih sama, sambil menikmati rasa yang hampir sama, dan mencium bau-bauan yang mirip dengan yang tercium saat menghafal, maka visual kita akan lebih mudah ”membaca” kembali apa yang terekam secara visual sebelumnya, karena dibantu oleh kesan yang kuat berupa informasi yang pada waktu bersamaan juga ditangkap oleh alat-alat indera yang lain.
http://portalnlp.com/